Entah begitu banyak kalimat BIJAK terdengar maupun terucap, tetapi baru sebatas permukaan, sebatas pikiran. MULUT boleh bijak tapi HATI masih bergemuruh berGEJOLAK. Teori memang manis tapi praktek masih tertatih...
Bicara KASIH, bicara HATI, bicara BHATIN, bicara BIJAK, bicara SADAR, bicara DAMAI...semua seakan semu jika bhatin masih berGEJOLAK. Tapi gejolak itu adalah bagian dari PEMAHAMAN dan PENERAPAN,,
Suatu masa pada jaman ADIPARWA, ketika para Dewa berniat mendapat AMERTA (keabadian), yang ternyata terpendam jauh direlung samudra KESIRARNAWA (lautan susu) dan hanya bisa didapat dengan mengaduk lautan susu (SAMUDRA MANTANA). tapi kuasa DEWA masih berbatas, dibutuhkan kuasa DETYA, karena untuk mendapat AMERTA itu harus dilakukan dengan mangaduk samudra, pun harus menggunakan gunung MAHAGIRI, pun diputar dengan naga, NAGENDRA. Dialasi dengan kura-kura raksasa, KURMARAJA, dan Dewa NARAYANA berdiam dipuncak gunung sebagai penyeimbang. Pengadukan diperlukan dua tenaga besar DETYA dan DANAWA....
Suatu ketika ada dua pertapa hebat, sedang bertaruh menunjukan
kemampuan sekaligus pencapain samadhi, bertaruh akan tingkat bhakti
kehadapan Dewa Siwa. merekapun melakukan agni homa memuja siwa dan
memohon agar Dewa Siwa berkenan hadir sekaligus menjadi juri yang
menentukan siapa yang paling hebat.
Om namah shiwaya ....sosok Siwa hadir memberkati sekaligus berkenan menjadi juri..
Singkat cerita perlombaan pun segera dimulai dan yang pertama
diperlombakan adalah kehebatan mereka dalam hal SHAKTI..kemampuan
membelah bumi, membelah samudra, terbang, mengendalikan api, merubah
batu menjadi emas, merubah tanah menjadi berlian, menyembuhkan orang
sakit, menghilang, dan lain-lain.. Semua telah dipertunjukan, dan mereka
berduapun sama-sama hebat..
Suatu ketika pohon bambu liar sedang mengeluh kepada seruling, berkeluh akan keadaan, menyesali kehidupan, meratapi derita.
"Wahai seruling kamu amat beruntung setiap kali kamu mendapat pujian atas indah merdu suaramu, dielus dan dicumbu oleh pemilikmu, seringkali tepuk tangan terdengar untuk mu", ucapnya.
"Sedangkan aku apa....? aku tiada lebih dari pohon kotor terjepit, tiada arti, jangankan sorak sorai, bahkan tubuhku hanya di hadiahi kotoran sang burung, orang hanya menyebutku si pembuat gatal.....kamu sungguh beruntung wahai seruling....".